Nama :
Muhammad Maskur
Mata Kuliah : Hukum Keluarga Islam
Talak
A. Pengertian Talak
Talak identik dengan perceraian, yang diambil dari kata “ithlaq”
yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah
syara’ talak yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami istri.[1]
Al-Jaziry mendefenisikan talak ialah menghilangkan ikatan
perkawinan atau mengurangi kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria
Al-Anhani, talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak yang
semacamnya. Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan, sehingga
setelah hilangnya ikatan perkawinanya itu. Istri tidak halal lagi bagi
suaminya. Sedangkan mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya
hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya hak talak bagi suami yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu mejadi hilang hak talak itu.
B. Dasar
Hukum
Menurut Ahmad bin Hanbal, talak itu kufur (ingkar, merusak,
menolak) terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat Allah.
Dan kufur terhadap nikmat Allah adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal
bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan perceraian adalah
apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau telah hilangnya
perasaan cinta di antara keduanya. Tanpa alasan-alasan tersebut, perceraian
adalah kufur terhadap kemurahan Allah.
Mengenai hukum talak, seperti umumnya masalah lain, dapat
bergeser pada hukum yang berbeda, yang pada pokoknya terdapat keberagaman motif
serta kondisi yang ada dalam diri pelaku perkawinan. oleh karena itu, hukum
talak dapat berbeda sesuai dengan perbedaan illatnya (penyebabnya).[2]
1.
Talak itu menjadi wajib
bila dijatuhkan oleh pihak penengah atau hakam. Jika menurut juru damai
tersebut, perpecahan antara suami istri sudah demikian berat sehingga sangat
kecil kemungkinan bahkan tidak sedikitpun terdapat cela-cela kebaikan atau
kemaslahatan kalau perkawinan itu dipertahankan, satu-satunya cara untuk
menghilangkan kemudharatan dan upaya mencari kemaslahatan bagi kedua pihak
adalah dengan memisahkan mereka. Masuk ke dalam kategori talak wajib juga bagi
isteri yang di illa’ (sumpah suami untuk tidak mengadakan hubungan
seksual dengan isterinya), sesudah lewat waktu tunggu 4 bulan. Sebagai mana
firman Allah;
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35).
Jika hakim memutuskan, tidak dapat
lagi di damaikan dengan alasan-alasan yang mu’tabar dan menyakinkan, maka dalam
hal ini menjatuhkan talak menjadi wajib.
2.
Talak menjadi haram
bila dijatuhkan tanpa alasan yang prinsipil dan istri dalam keadaan haid. Talak
seperti ini haram karena mengakibatkan kemudharatan bagi isteri dan anak. Talak
jenis ini tidak sedikit mengandung kemaslahatan setelah penjatuhannya.
3.
Talak juga dapat jatuh sunnat
apabila isteri mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah, yaitu meninggalkan
shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan suami tidak sanggup memaksanya untuk
menjalankan kewajiban atau suami tidak dapat mendidiknya. Di samping itu,
isteri telah kehilangan rasa malu, seperti bertingkah laku yang tidak pantas
sebagai seorang wanita baik-baik.
4.
Talak juga dapat jatuh Makruh,
seperti menjatuhkan talak kepada istri yang baik, jujur dan dipercaya.
5.
Talak juga dapat jatuh Halal,
apabila istri tidak dapat menyenangkan hati atau tidak memberahikan suami. Dalam
hal ini menurut Imam Ahmad tidak patut bagi suami untuk mempertahankan isteri
dalam perkawinan. Hal ini karena kondisi isteri tersebut akan berpengaruh
terhadap keimanan suami.
Untuk itu, maka syariat Islam menjadikan pertalian suami istri
dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh sebagaimana
Al-Qur’an memberi istilah pertalian itu dengan mitsaq ghalizah (janji
kukuh). Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisa (4): 21).
Suami isteri wajib memelihara hubungan tali pengikat
perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan
tali pengikat itu, menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan
adalah termasuk perbuatan tercela, dan dibenci oleh Allah. Rasulullah saw,
bersabda: “Perkara halal yang paling
dibenci Allah ialah menjatuhkan talak”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan sohih
oleh al-Hakim).[3]
Hadits ini menjadi dalil bahwa di antara jalan halal itu ada
yang dimurkai Allah, jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang
paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan
menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak dapat dipandang sebagai perbuatan
ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri
dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Suami hanya
dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk
menghindarinya dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
C. Talak Pada Masa Jahiliyah
Talak sudah di kenal pada masa jahiliyah. Bahkan jauh
sebelum itu, orang mesir sudah mengenalnya. Hal ini di ketahui karena di
temukanya tulisan talak di sebuah
bangunan tua.[4]
Kemudian agama islam mengakuinya. Talak tidak khusus untuk
umat Muhammad saja. Bangsa Arab pada masa jahiliyah telah melaksanakanya, Cuma
mereka tidak membatasi jumlahnya sampai tiga. Menurut ‘Urwah bin Zubai sebagai
mana termaktub dalam kitab ‘Ibnu ‘Aidil”, pada masa dahulu orang menjatuhkan talak sesuka hatinya, tidak
terbatas jumlahnya, dan sebelum habis masa menunggu (‘iddah), dirujuk, kemudian di ceraikannya, sesudah itu dirujuknya
kembali, dengan masuk untuk menyakitinya. Talak dalam bentuk ini di tentang
dalam al-Quran:
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 wur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$ss wr& $yJÉ)ã yrßãm «!$# (
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal
bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS al-Baqarah: 229).
D. Hak Talak Adalah Milik Suami
Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan
wanita, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan, di samping memiliki
kelebihan dan kekurangan. Adanya kelebihan-kelebihan dan kekurangan itu
bukanlah menunjukkan bahwa jenis yang satu lebih baik dari jenis lain atau
jenis yang satu harus tunduk kepada jenis yang lain. Dalam beberapa hal
laki-laki memiliki kelebihan
dibandingkan dengan wanita, dengan kelebihan itu ia di jadikan sebagi pemimpin
dalam sebuah rumah tangga.[5] Sebagai mana firman Allah;
ãA%y`Ìh9$#
cqãBº§qs% n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/
@Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
4
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki)
Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34).
Talak adalah hak suami, dia menjatuhkanya bila mana mau. Hak
itu di berikan kepada suami, karena dia menanggung biaya hidup rumah tangga,
dia juga membayar mahar ketika akad dan membelanjakan ketika dalam masa
menunggu (iddah).[6]
Menurut pendapat imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal,
menjatuhkan talak itu adalah halal, kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat).
Istri yang meminta cerai
kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, dia akan rugu dan tidak akan
mencium baunya surga, sebagai mana sabda Rasulullah; “mana-mana wanita meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (yang
mu’tabar), maka haram atasnya bau surga”. (HR.Turmudzi).
E. Rukun Talak
Rukun
Talak itu ada lima perkara, yaitu:[7]
1.
Shighat (ucapan);
2.
Mahal (istri);
3.
Wilayah;
4.
Dengan Sengaja (niat);
5.
Orang yang menjatuhkan talak (suami atau hakim).
Dalam
buku lain menyebutkan bahwa Rukun talak ada tiga; [8]
1.
Suami yang mukallaf. Tidak berhak menceraikan istrinya,
sebagaimana sabda Rasulullah, yang maknaya; “Sesungguhnya
talak itu hanyalah bagiorang yang mendapatkanya kesulitan.” (H.R. Ibnu
Majah dan Al-Daruqudni). Demikian pula halnya, talak tidak jatuh bila pihak
yang menceraikan itu tidak berakal, tidak baligh, dan terpaksa melakukanya.
2. Seseorang istri yang telah terikat
secara mutlak oleh suaminya dengan pernikahan hakiki yang karenanya ia (istri)
berada di bawah lindungan suaminya dan belum keluar dari ikatan itu, baik
melalui fasah (pembatalan) nikah,
atau perceraian. Sabda Rasulullah yang di riwayatkan oleh at-Turmudzi, “menyatakan bahwa tidak berhak suami
menceraikan istri yang bukan istrinya.
3. Harus ada ungkapan yang jelas dalam
talak, karena niat saja tidak di anggap memadai dan tidak dapat menceraikan
istrinya. Hal ini sebagai mana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya Allah
bersama umatku mengenai apa yang terjadi pada diri mereka selama hal itu tidak
dibicarakan atau tidak dilakukan.”(H.R. Mutafaqun alaih).
F. Macam-macam Talak
Talak
terbagi menjadi dua, yaitu Talak raj’I dan Talak bai’n.
1.
Talak raj’i
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang di namakan talak raj’i
ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya
(rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik istri tersebut bersedia dirujuk atau tidak.[9]
Talak Raj'i yaitu talak yang di jatuhkan suami kepada
istrinya yang di gauli (bersenggama), baik dengan sharih (terang) maupun
kinayah (sindiran).[10]
Dasar hukum talak raj’i dalam al-Qur’an,
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD
( 88$|¡øBÎ*sù
>$rá÷èoÿÏ3
÷rr& 7xÎô£s?
9`»|¡ômÎ*Î/
3
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…..” (QS.
Al-Baqarah: 229).
Pada bab putusnya perkawinan pasal 118, bahwa raj’i adalah talak kesatu dan kedua,
dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa ‘iddah.[11]
Akibat talak raj’i tidak
menghalangi suami bersenagng-senang atau bermesraan dengan istrinya, karena
pada dasarnya mereka belum putus dan hak milik suami tanggal[12].
Istri yang di talak raj’i masih
mempunyai hak-hak suami-istri, seperti hak waris-mewarisi antara keduanya
manakala salah satu di antara mereka meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.[13]
Jika masa ‘iddah habis, suami tidak
merujuknya maka jatuhlah talaknya menjadi ba’in.
‘Iddah adalah masa lamanya istri menunggu
ddan tidak oleh kawin setelah kematian suaminya, atau setelah di cerai dari
suaminya, hukum ‘iddah menurut para ulama wajib.[14]
Tujuan ‘iddah ini adalah;
a.
Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang istri dari
kehamilan, sehingga tidak tercampur keturunan seseorang dengan yang lainya,
b.
Memberi kesempatan kepada suami-istri yang bercerai untuk
rujuk kembali,
c.
Untuk menjunjung tinggi ikatan perkawinan sebagai ikatan
suci, sehingga memberikan kesempatan kepada suami istri untuk memutuskan secara
pasti untuk cerai,
d.
Keharmonosan dalam perkawinan tidak mudah terwujud, sebelum
suami istri belum merasakan hidup yang panjang di dalam keluarga.
Ada
tiga pengecualian dalam talak raj’i
a)
Talak yang menyempurnakan tiga, mengakibatkan selain
perceraian itu talak ba’in, juga
istri haram bagi suami. Ia tidak boleh merujuknya sampai wanita itu kawin lagi
dengan laki-laki lain. Perkawinan dengan laki-laki itu bukan dimaksudkan untuk
menghalalkannya dengan bekas suaminya yang pertama. Sebagai mana firman Allah;
bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù @ÏtrB ¼ã&s!
.`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys?
%¹`÷ry
¼çnuöxî
3 bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù yy$uZã_
!$yJÍkön=tæ br&
!$yèy_#utIt
bÎ)
!$¨Zsß br&
$yJÉ)ã yrßãn
«!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn
«!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230).
b)
Talak sebelum di campur (sengama) menjadi talak ba’in, karena iatri tidak mempunyai ‘iddah. Sedangkan rujuk hanya dapat di
lakukan dalam masa ‘iddah. Sebagiman firman
Allah;[15]
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$#
¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ
`ÏB
È@ö6s% br&
Æèdq¡yJs?
$yJsù
öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka
'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[16]
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.(QS. Al-Ahzab: 49).
Menurut Said Sabiq dalam kitabnya “Fiqhu Sunnah”, wanita
yang di talak sebelum di campuri tetapi sudah pernah berduaan atau bermesraan,
tergolong talak ba’in wajib ‘iddah atasnya.
c)
Talak yang di jatuhkan dengan imbalan yang di bayar oleh
istri kepada suami, dengan maksud supaya ia terlepas dari tangan suaminya,
adalah talak ba’in.
2. Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang di jatuhkan suami kepada
istrinya yang belum pernah digauli
(bersenggama), atau talak tersebut sebagai ganti mahar yang di
kembalikanya (khulu’), atau talak tiga,[17]
dimana talak ba’in adalah talak yang
suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istri yang di talaknya.[18]
Suami yang telah mentalak istrinya dengan talak ba’in maka posisinya tidak
lagi sebagi suami tapi sama seperti laki-laki lainya. Talak ini terjadi karena
lima hal, yaitu;[19]
a.
Bila suami mentalak istrinya dengan talak raj’I, kemudian ia
meninggalkan dan tidak merujuknya sampai masa ‘iddahnya habis, maka dengan
habisnya masa ‘iddah, talak raj’i menjadi talak ba’in,
b.
Suami menceraikan berdasarkan penyerahan sejumlah harta dari
pihak istri,
c.
Menurut pertimbangan dua orang hakim, talak lebih bermaslahat daripada tetap hidup suami istri,
talak pertimbangan itu adalah talak ba’in,
d.
Suami menceraikan istri sebelum menyetubuhinya,
e.
Talak ba’in dapat di tetapkan berdasarkan talak tiga kali
dalam satu kalimat, atau berdasarkan beberapa kalimat yang terpisah-pisah dalam
satu keadaan, atau menceraikannya tiga kali setelah diucapkan dua talak
sebelumnya. Dengan demikian tidak boleh rujuk, kecuali perempuan itu dinikahi
kemudian di cerai oleh orang lain terlebih dahulu.[20]
Sebagai mana firman Allah;
bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù @ÏtrB ¼ã&s!
.`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys?
%¹`÷ry
¼çnuöxî
3
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain”. (QS.
Al-Baqarah: 230).
Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul
Mujtahid”menyatakan bahwa talak ba’in menurut
para ulama terjadi dari tiga arah, yaitu belum di campuri, bilangan talak, dan
pembayaran ganti (khulu’).[21]
Ibnu Hazm berpendapat bahwa talak ba’in ialah talak yang sempurna tiga
atau talak sebelum campur. Talak ba’in terbagi
menjadi dua, yaitu;
a).
Talak ba’in Shughra
Talak ba’in Shughra yaitu
talak yang kurang dari tiga, dan tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru
dengan bekas suaminya meskipun dalam masa ‘iddah, atau setelah masa ‘iddah.
Sebagian ahli fikih memasukkan talak ba’in shughra ialah talak yang dijatuhkan
oleh hakim dengan alasan bahwa suami tidak memberi nafkah kepada istrinya.
Talak ba’in shughra ialah talak raj’I yang telah habis masa ‘iddahnya. Imam Abu
Hanifah memasukkan juga kedalam golongan ini ialah talak dengan mengunakan
kata-kata sindiran 9kinayah).[22]
Hukum
talak ba’in shughra;
1.
Hilangnya ikatan nikah antara suami istri,
2.
Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat
(berdua-duaan,),
3.
Masing-masing pihat tidak berhak mewarisi dan di warisi,
4.
Dalam masa ‘iddah bekas istri masih berhak di rumah bekas
suaminya dengan berpisah tempat tidur dan berhak mendapat nafkah,
5.
Rujuk harus dengan akad dan mahar yang baru.
b).
Talak ba’in kubra
Talak ba’in kubra yaitu
talak yang menyempurnakan talak tiga, dan akibatnya ialah hilangnuya hak rujuk
kepada bekas istrinya walaupun kedua belah pihak engine melakukanya, baik di
waktu ‘iddah maupun setelahnya.
Hukum
talak ba’in kubra;
1.
Sama dengan hukum talak ba’in shughra yaitu poin (a), (b),
(c), dan (d),
2.
Haram suami kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali
apabila bekas istrinya telah kawin dengan laki-laki lain, kemudian di cerai
dengan perceraian yang benar. Perkawinan bekas istri dengan laki-laki kedua
harus sudah pernah bersetubuh, hal ini sesuaidengan sabda Rasulullah;
“Belum boleh hingga engkau merasakan
madunya (suami kedua) dan ia telah merasakan madu engkau”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman
Allah;
bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù @ÏtrB ¼ã&s!
.`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys?
%¹`÷ry
¼çnuöxî
3 bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù yy$uZã_
!$yJÍkön=tæ br&
!$yèy_#utIt
bÎ)
!$¨Zsß br&
$yJÉ)ã yrßãn
«!$# 3 y7ù=Ï?ur ßrßãn
«!$# $pkß]Íhu;ã 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (QS. Al-Qarah: 230)
G. Klasifikasi talak
Ditinjau dari segi orang yang
berwewenag menjatuhkan talak atau memutuskan perceraian, maka perceraian itu
dapat dibagi menjadi;[23]
1.
Yang di jatuhkan oleh suami, dinamakan talak,
2.
Yang di putuskan oleh hakim,
3.
Yang putus dengan tersendirinya, seperti karenanya meninggal
dunia.
H. Macam-macam Talak
1.
Talak sunnah
Talak sunnah yaitu talak yang di jatuhkan seorang suami kepada
istri ddalam keadaan ia masih suci dan belum tersentuh. Apabila seorang muslim
akan menceraikan lantaran nudharat yang menimpa salah seorang diantara
keduanya, dan mudharat itu hanya dapat di selesaikan dengan jalan perceraian,
maka hal itu harus di tangguhkan sampai istrinya bersih dari haidnya. Apa bila
dia telah suci, maka ceraikanlah ia dengan satu talak, misalnya dengan
mengatakan; “sesungguhnya engkau telah ku
cerai”[24],
hal ini berdasarkan firman Allah;
$pkr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
#sÎ)
ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur
no£Ïèø9$# ( (
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar).”[25] (QS. At-Talaq: 1).
2.
Talak bid’ah
Talak bid’ah ialah talak yang di jatuhkan suami kepada
istrinya yang sedang menghadapi haid atau nifas, atau sedang dalam keadaan suci
namun telah di setubuhi, atau langsung di talak tiga dengan satu ucapan.
Menurut para ulama, talak bid’ah itu sama seperti dalam kejadiannya, sehingga
dengan talak itu putuslah hubungan suami istri.
I. Syarat Jatuhnya Talak
Suatu talak akan jatuh apa bila telah lengkap
syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan suami,
istri dan ada juga yang berhubungan dengan shighat talak.[26]
a). Syarat yang berhubungan dengan suami
Para ahli fiqih bahwa suami yang sah
menjatuhkan talak ialah suami yang mukalaf, seperti sempurna akalnya, telah
baligh dan sebagainya. Diantara tanda suami yang tidak sempurna mukallafnya
ialah suami yang:
1.
Karena terpaksa
Orang yang terpaksa dia tidak bisa
melaksanakan kehendaknya dan tidak pula
dapat menyatakan pilihannya. Pada hakekatnyakehendak dan pilihan orang yang
terpaksa itu adalah kehendak dan pilihan orang atau keadaan yang memaksanya. Karena
itu ia tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, dengan perkataan lain
orang itu tidak sempurna mukallafnya, dan di hukumkan perbuatan itu bukan
perbuatanya.[27]
Dasarnya ialah, sebagai mana firman Allah;
`tB
txÿ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJÎ) wÎ) ô`tB onÌò2é& ¼çmç6ù=s%ur
BûÈõyJôÜãB Ç`»yJM}$$Î/
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya
tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), “ (QS. An-Nahl: 106)
Demikian pula dengan sabda Rasulullah; “Diriwayatkan bahwa rasulullah saw, bersabda; diangkat dari umatku
(hukuman) karena tersalah, lupa dan apa yang terpaksa mereka melakukanya”. (HR.
Ibnu Majah, Ibnu Haiban, ad Darutqutni, at Tabari, al Hakim, dan dinyatakan
shaheh oleh an Nawawi).[28]
Berdasarkan keterangan di atas imam Syafi’I, imam Malik,
imam Ahmad berpendapat bahwa talak yang di jatuhkan oleh suami yang terpaksa
menjatuhkannya tidak sah, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak
tersebut adalah talak yang sah.
2.
Suami Yang Mabuk
Sebagian
ahli fiqih berpendapat bahwa sah jatuhnya talak yang di jatuhkan oleh suami
yang mabuk, apa bila ia sengaja menjadikan dirinya menjadi orang mabuk, seperti
sengaja minum khamar dan sejenisnya. Apabila ia tidak disengaja maka talak itu
tidak sah. Para ahli fiqih seperti imam Abu Hanifah, sebagi pengikut Syafi’i
dan Ahli Zahir berpendapat bahwa tidak sah talak yang di jatuhkan oleh orang
yang sedang mabuk, karena orang yang sedang mabuk di hukumkan tidak berakal
atau orang gila.[29]
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä w (#qç/tø)s?
no4qn=¢Á9$#
óOçFRr&ur
3t»s3ß
4Ó®Lym (#qßJn=÷ès?
$tB
tbqä9qà)s?
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan,” (QS. An-Nisa’:
43).
3.
Suami Yang Sedang Marah
Yang
dimaksud dengam marah ialah semacam perasaan benci karena sesuatu kejadian atau
karena tindakan seseorang. Apabila seseorang menjatuhkan talak talak kepada
istrinya dalam keadaan marah yang tidak dapat menentukan khendak dan pilihanya,
maka talaknya tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah; “Tidak sah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah yang tidak
dapat menentukan kehendak pilihanya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan
al Hakim).[30]
4. Main-main atau
Senda Gurau
Jumhur ulama menyatakan bahwa talak
orang yang main-main atau senda gurau. Dasar ini sesuai dengan sabda
Rasulullah; “Tiga perkara kesungguhanya
menjadi sungguh-sungguh, dan main-mainnya menjadi sungguh-sungguh: nikah, talak,
dan rujuk”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi).[31]
Menurut sebabagian ulama, talak
tidaj jatuh yang di lakukan dengan main-main. Menurut mazhab Ahmad dan Malik,
karena menurut dua mazhab ini talak baru jatuh apabila di ucapkan dengan
sengaja serta mengerti maksudnya.
b). Syarat yang Berhubungan dengan Istri
Para ahli fiqih sepakat bahwa istri yang boleh di talak oleh
suami ialah;
- Istri yang telah terikat oleh perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila belum terikat oleh perkawinan maka tidak ada talak untuknya,
- istri dalam keadaan suci, dan belum di campuri oleh suaminya,
- Istri yang sedang hamil.
c). Syarat-syarat pada
Shighat Talak
Shighat talak ialah perkataan yang
di ucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak kepada
istrinya. Shighat talak itu ada yang di ucapkan secara langsung, ada dengan
perkataan yang jelas (sharih) dan dengan sindiran (kinayah).
Menurut imam Syafi’i lafaz sharih
(jelas) itu ada tiga macam, yaitu Thalaq,
Firaq, dan sarah, ketiga kata itu hampir sama maknanya, yaitu, “perceraian”
atau “perpisahan”.
Adapun lafaz kinayah (sindiran),
ialah kalimat yang di ucapkan tidak terang maksudnya, mengandung arti atau
tafsiran yang banyak. Misalnya ucapan “engkau tidak bersuami lagi’.
Ditinjau dari segi, apakah talak itu
telah jatuh di saat suami selesai mengucapkan shighat talak, maka talak itu di
bagi menjadi dua, yaitu;[32]
a.
Talak mubjiz, yaitu talak yang telah jatuh di saat
suami selesai mengucapkan shighat talak, seperti perkataan suami kepada
istrinya, “Aku jatuhkan talakku satu kali kepadamu”. Talak tersebut jatuh di
saat suami selesai mengucapkan talak shighat.
b.
Talak mu’allaq, yaitu talak yang jatuh apa bila
telah ada syarat-syarat yang di sebutkan suami dalam shighat akad yang telah
diucapkannya dahulu atau syarat-syarat yang di tetapkan setelah akad nikah.
Syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan tindakan atau peristiwa dan
ada yang berhubungan datangnya masa yang
akan datang, seperti suami berkata “Talakku
jatuh atasmu pada bulan muharram yang akan datang.”[33]
B. Harta Bersama
Dalam pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing
suami dan isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain
yaitu dijadikan harta bersama.
Mengenai harta bersama, suami maupun isteri dapat
mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta
bersamaan, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta
bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.
Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai
harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. Adalah
sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang
dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
Syarat-syarat “persetujuan” kedua belah pihak dalam
mempergunakan harta bersama tersebut harus diartikan sedemikian rupa. Di mana
tidak semua hal penggunaan harta bersama itu diperlukan persetujuan secara
tegas dari kedua belah pihak. Dalam beberapa hal tersebut, persetujuan kedua
belah pihak ini harus dianggap ada persetujuan diam-diam. Misalnya dalam hal
mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari.
Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa sejak saat perkawinan
dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan
suami dan isteri. Jadi hukum perkawinan dan KUH Perdata mengenai asas
persatuan/ pencampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan
tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta
notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh
penyimpangannya. Harta kekayaan bersama terdiri:[34]
1.
Aktiva, yang meliputi modal, laba/keuntungan serta bunga
dari barang yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh suami isteri
itu sebelum maupun selama perkawinannya juga termasuk yang mereka peroleh
sebagai hadiah dari pihak ketiga, kecuali bila mana ada larangan hadiah/hibah
itu dimasukkan dalam persatuan harta kekayaan.
2.
Pasiva, yang meliputi hutang-hutang suami isteri yang dibuat
sebelum maupun sesudah perkawinannya. Harta kekayaan di dalam perkawinan itu
tidak boleh diadakan perubahan apapun juga selama perkawinan. Hal demikian
dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga atau para kreditur.
Pengertian dan Dasar Hukum Penceraian dan Harta Bersama
Cara menghindari perceraian, dasar hukum perceraian,
pembagian harta bersama, harta gono gini, islam tentang harta gono gini,
masalah perceraian, tingkat perceraian di indonesia,
DAFTAR PUSTAKA
Said, Fuad, Perceraian
Menurut Hukum Islam,(Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994).
Kamal Mukhtar, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974).
Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, terj: Rahmat Jatnika dan Ahmad Sumpena, (Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 1991).
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, (Jakarta, Lentera, 2007).
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta,
Gema Insani, 1994).
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT. Bina ilmu, 1995).
http://www.masbied.com/2011/04/03/pengertian-dan-dasar-hukum-penceraian-dan-harta-bersama/12/09/2011.
[1]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994),
hal. 2.
[2]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 6.
[3]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1974), hal. 158.
[4]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 5.
[5]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 161-162.
[6]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 6.
[7]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 7.
[8]Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, terj: Rahmat
Jatnika dan Ahmad Sumpena, (Bandung, PT.
Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 200.
[9]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, (Jakarta,
Lentera, 2007), 451.
[10]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 55.
[11]Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta, Gema Insani, 1994), hal. 112.
[12]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 59.
[13]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, hal. 541.
[14]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, hal. 338.
[15]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT. Bina
ilmu, 1995), hal. 333.
[16]yang dimaksud
dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan
sebelum dicampuri.
[17]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, hal. 331.
[18]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, hal. 452.
[19]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal.203.
[20]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, hal. 453.
[21]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 62.
[22]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal.
178.
[23]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 159.
[24]Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, 202.
[25]Maksudnya:
isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu Suci sebelum dicampuri. tentang
masa iddah lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
[26]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 163
[27]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 163-164.
[28]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 164.
[29]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 164-165.
[30]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 165.
[31]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 12-13.
[32]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 169.
[33]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
hal. 169.
0 komentar:
Posting Komentar