Home » » Pengertian Dasar Perceraian (Talaq) dan Harta Bersama

Pengertian Dasar Perceraian (Talaq) dan Harta Bersama

Written By Unknown on Jumat, 22 Maret 2013 | 20.36



Nama              : Muhammad Maskur
Mata Kuliah   : Hukum Keluarga Islam
Talak
A.    Pengertian Talak
Talak identik dengan perceraian, yang diambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’ talak yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami istri.[1]
Al-Jaziry mendefenisikan talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anhani, talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak yang semacamnya. Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan, sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinanya itu. Istri tidak halal lagi bagi suaminya. Sedangkan mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu mejadi hilang hak talak itu.
B.     Dasar Hukum
Menurut Ahmad bin Hanbal, talak itu kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat Allah. Dan kufur terhadap nikmat Allah adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau telah hilangnya perasaan cinta di antara keduanya. Tanpa alasan-alasan tersebut, perceraian adalah kufur terhadap kemurahan Allah.
Mengenai hukum talak, seperti umumnya masalah lain, dapat bergeser pada hukum yang berbeda, yang pada pokoknya terdapat keberagaman motif serta kondisi yang ada dalam diri pelaku perkawinan. oleh karena itu, hukum talak dapat berbeda sesuai dengan perbedaan illatnya (penyebabnya).[2]
1.      Talak itu menjadi wajib bila dijatuhkan oleh pihak penengah atau hakam. Jika menurut juru damai tersebut, perpecahan antara suami istri sudah demikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan bahkan tidak sedikitpun terdapat cela-cela kebaikan atau kemaslahatan kalau perkawinan itu dipertahankan, satu-satunya cara untuk menghilangkan kemudharatan dan upaya mencari kemaslahatan bagi kedua pihak adalah dengan memisahkan mereka. Masuk ke dalam kategori talak wajib juga bagi isteri yang di illa’ (sumpah suami untuk tidak mengadakan hubungan seksual dengan isterinya), sesudah lewat waktu tunggu 4 bulan. Sebagai mana firman Allah;
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35).
            Jika hakim memutuskan, tidak dapat lagi di damaikan dengan alasan-alasan yang mu’tabar dan menyakinkan, maka dalam hal ini menjatuhkan talak menjadi wajib.
2.      Talak menjadi haram bila dijatuhkan tanpa alasan yang prinsipil dan istri dalam keadaan haid. Talak seperti ini haram karena mengakibatkan kemudharatan bagi isteri dan anak. Talak jenis ini tidak sedikit mengandung kemaslahatan setelah penjatuhannya.
3.      Talak juga dapat jatuh sunnat apabila isteri mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah, yaitu meninggalkan shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan suami tidak sanggup memaksanya untuk menjalankan kewajiban atau suami tidak dapat mendidiknya. Di samping itu, isteri telah kehilangan rasa malu, seperti bertingkah laku yang tidak pantas sebagai seorang wanita baik-baik.
4.      Talak juga dapat jatuh Makruh, seperti menjatuhkan talak kepada istri yang baik, jujur dan dipercaya.
5.      Talak juga dapat jatuh Halal, apabila istri tidak dapat menyenangkan hati atau tidak memberahikan suami. Dalam hal ini menurut Imam Ahmad tidak patut bagi suami untuk mempertahankan isteri dalam perkawinan. Hal ini karena kondisi isteri tersebut akan berpengaruh terhadap keimanan suami.
Untuk itu, maka syariat Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh sebagaimana Al-Qur’an memberi istilah pertalian itu dengan mitsaq ghalizah (janji kukuh). Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisa (4): 21).
Suami isteri wajib memelihara hubungan tali pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat itu, menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela, dan dibenci oleh Allah. Rasulullah saw, bersabda: “Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak”. (HR. Abu Daud dan dinyatakan sohih oleh al-Hakim).[3]
Hadits ini menjadi dalil bahwa di antara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah, jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
C.    Talak Pada Masa Jahiliyah
Talak sudah di kenal pada masa jahiliyah. Bahkan jauh sebelum itu, orang mesir sudah mengenalnya. Hal ini di ketahui karena di temukanya tulisan talak di sebuah bangunan tua.[4]
Kemudian agama islam mengakuinya. Talak tidak khusus untuk umat Muhammad saja. Bangsa Arab pada masa jahiliyah telah melaksanakanya, Cuma mereka tidak membatasi jumlahnya sampai tiga. Menurut ‘Urwah bin Zubai sebagai mana termaktub dalam kitab ‘Ibnu ‘Aidil”, pada masa dahulu  orang menjatuhkan talak sesuka hatinya, tidak terbatas jumlahnya, dan sebelum habis masa menunggu (‘iddah), dirujuk, kemudian di ceraikannya, sesudah itu dirujuknya kembali, dengan masuk untuk menyakitinya. Talak dalam bentuk ini di tentang dalam al-Quran:
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 Ÿwur @Ïts öNà6s9 br& (#räè{ù's? !$£JÏB £`èdqßJçF÷s?#uä $º«øx© HwÎ) br& !$sù$sƒs žwr& $yJŠÉ)ムyŠrßãm «!$# (
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” (QS al-Baqarah: 229).
D.    Hak Talak Adalah Milik Suami
Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan wanita, masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan, di samping memiliki kelebihan dan kekurangan. Adanya kelebihan-kelebihan dan kekurangan itu bukanlah menunjukkan bahwa jenis yang satu lebih baik dari jenis lain atau jenis yang satu harus tunduk kepada jenis yang lain. Dalam beberapa hal laki-laki  memiliki kelebihan dibandingkan dengan wanita, dengan kelebihan itu ia di jadikan sebagi pemimpin dalam sebuah rumah tangga.[5]  Sebagai mana firman Allah;
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34).
Talak adalah hak suami, dia menjatuhkanya bila mana mau. Hak itu di berikan kepada suami, karena dia menanggung biaya hidup rumah tangga, dia juga membayar mahar ketika akad dan membelanjakan ketika dalam masa menunggu (iddah).[6]
Menurut pendapat imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, menjatuhkan talak itu adalah halal, kecuali dalam keadaan terpaksa (darurat).
Istri yang meminta cerai  kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, dia akan rugu dan tidak akan mencium baunya surga, sebagai mana sabda Rasulullah; “mana-mana wanita meminta cerai kepada suaminya tanpa sebab (yang mu’tabar), maka haram atasnya bau surga”. (HR.Turmudzi).
E.     Rukun Talak
Rukun Talak itu ada lima perkara, yaitu:[7]
1.      Shighat (ucapan);
2.      Mahal (istri);
3.      Wilayah;
4.      Dengan Sengaja (niat);
5.      Orang yang menjatuhkan talak (suami atau hakim).
Dalam buku lain menyebutkan bahwa Rukun talak ada tiga; [8]
1.      Suami yang mukallaf. Tidak berhak menceraikan istrinya, sebagaimana sabda Rasulullah, yang maknaya; “Sesungguhnya talak itu hanyalah bagiorang yang mendapatkanya kesulitan.” (H.R. Ibnu Majah dan Al-Daruqudni). Demikian pula halnya, talak tidak jatuh bila pihak yang menceraikan itu tidak berakal, tidak baligh, dan terpaksa melakukanya.
2.      Seseorang istri yang telah terikat secara mutlak oleh suaminya dengan pernikahan hakiki yang karenanya ia (istri) berada di bawah lindungan suaminya dan belum keluar dari ikatan itu, baik melalui fasah (pembatalan) nikah, atau perceraian. Sabda Rasulullah yang di riwayatkan oleh at-Turmudzi, “menyatakan bahwa tidak berhak suami menceraikan istri yang bukan istrinya.
3.      Harus ada ungkapan yang jelas dalam talak, karena niat saja tidak di anggap memadai dan tidak dapat menceraikan istrinya. Hal ini sebagai mana sabda Rasulullah:
Sesungguhnya Allah bersama umatku mengenai apa yang terjadi pada diri mereka selama hal itu tidak dibicarakan atau tidak dilakukan.”(H.R. Mutafaqun alaih).
F.     Macam-macam Talak
Talak terbagi menjadi dua, yaitu Talak raj’I  dan Talak bai’n.
1.      Talak raj’i
Para ulama mazhab sepakat bahwa yang di namakan  talak raj’i ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik istri tersebut bersedia dirujuk atau tidak.[9]
Talak Raj'i yaitu talak yang di jatuhkan suami kepada istrinya yang di gauli (bersenggama), baik dengan sharih (terang) maupun kinayah (sindiran).[10] Dasar hukum talak raj’i dalam al-Qur’an,
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…..” (QS. Al-Baqarah: 229).
Pada bab putusnya perkawinan pasal 118, bahwa raj’i adalah talak kesatu dan kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa ‘iddah.[11]
Akibat talak raj’i tidak menghalangi suami bersenagng-senang atau bermesraan dengan istrinya, karena pada dasarnya mereka belum putus dan hak milik suami tanggal[12]. Istri yang di talak raj’i masih mempunyai hak-hak suami-istri, seperti hak waris-mewarisi antara keduanya manakala salah satu di antara mereka meninggal sebelum selesai masa ‘iddah.[13] Jika masa ‘iddah habis, suami tidak merujuknya maka jatuhlah talaknya menjadi ba’in.
‘Iddah adalah masa lamanya istri menunggu ddan tidak oleh kawin setelah kematian suaminya, atau setelah di cerai dari suaminya, hukum ‘iddah menurut para ulama wajib.[14] Tujuan ‘iddah ini adalah;
a.       Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang istri dari kehamilan, sehingga tidak tercampur keturunan seseorang dengan yang lainya,
b.      Memberi kesempatan kepada suami-istri yang bercerai untuk rujuk kembali,
c.       Untuk menjunjung tinggi ikatan perkawinan sebagai ikatan suci, sehingga memberikan kesempatan kepada suami istri untuk memutuskan secara pasti untuk cerai,
d.      Keharmonosan dalam perkawinan tidak mudah terwujud, sebelum suami istri belum merasakan hidup yang panjang di dalam keluarga.
Ada tiga pengecualian dalam talak raj’i
a)      Talak yang menyempurnakan tiga, mengakibatkan selain perceraian itu talak ba’in, juga istri haram bagi suami. Ia tidak boleh merujuknya sampai wanita itu kawin lagi dengan laki-laki lain. Perkawinan dengan laki-laki itu bukan dimaksudkan untuk menghalalkannya dengan bekas suaminya yang pertama. Sebagai mana firman Allah;
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230).
b)      Talak sebelum di campur (sengama) menjadi talak ba’in, karena iatri tidak mempunyai ‘iddah. Sedangkan rujuk hanya dapat di lakukan dalam masa ‘iddah. Sebagiman firman Allah;[15]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[16] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.(QS. Al-Ahzab: 49).
Menurut Said Sabiq dalam kitabnya “Fiqhu Sunnah”, wanita yang di talak sebelum di campuri tetapi sudah pernah berduaan atau bermesraan, tergolong talak ba’in wajib ‘iddah atasnya.
c)      Talak yang di jatuhkan dengan imbalan yang di bayar oleh istri kepada suami, dengan maksud supaya ia terlepas dari tangan suaminya, adalah talak ba’in.
2.      Talak Ba’in
Talak ba’in  adalah talak yang di jatuhkan suami kepada istrinya yang belum pernah digauli  (bersenggama), atau talak tersebut sebagai ganti mahar yang di kembalikanya (khulu’), atau talak tiga,[17] dimana talak ba’in adalah talak yang suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada istri yang di talaknya.[18] Suami yang telah mentalak istrinya dengan talak ba’in  maka posisinya tidak lagi sebagi suami tapi sama seperti laki-laki lainya. Talak ini terjadi karena lima hal, yaitu;[19]
a.        Bila suami mentalak istrinya dengan talak raj’I, kemudian ia meninggalkan dan tidak merujuknya sampai masa ‘iddahnya habis, maka dengan habisnya masa ‘iddah, talak raj’i menjadi talak ba’in,
b.        Suami menceraikan berdasarkan penyerahan sejumlah harta dari pihak istri,
c.        Menurut pertimbangan dua orang hakim, talak lebih bermaslahat daripada tetap hidup suami istri, talak pertimbangan itu adalah talak ba’in,
d.       Suami menceraikan istri sebelum menyetubuhinya,
e.        Talak ba’in dapat di tetapkan berdasarkan talak tiga kali dalam satu kalimat, atau berdasarkan beberapa kalimat yang terpisah-pisah dalam satu keadaan, atau menceraikannya tiga kali setelah diucapkan dua talak sebelumnya. Dengan demikian tidak boleh rujuk, kecuali perempuan itu dinikahi kemudian di cerai oleh orang lain terlebih dahulu.[20] Sebagai mana firman Allah;
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (QS. Al-Baqarah: 230).
Menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid”menyatakan bahwa talak ba’in menurut para ulama terjadi dari tiga arah, yaitu belum di campuri, bilangan talak, dan pembayaran ganti (khulu’).[21]
            Ibnu Hazm berpendapat bahwa talak ba’in ialah talak yang sempurna tiga atau talak sebelum campur. Talak ba’in terbagi menjadi dua, yaitu;
a). Talak ba’in Shughra
Talak ba’in Shughra yaitu talak yang kurang dari tiga, dan tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa ‘iddah, atau setelah masa ‘iddah. Sebagian ahli fikih memasukkan talak ba’in shughra ialah talak yang dijatuhkan oleh hakim dengan alasan bahwa suami tidak memberi nafkah kepada istrinya. Talak ba’in shughra ialah talak raj’I yang telah habis masa ‘iddahnya. Imam Abu Hanifah memasukkan juga kedalam golongan ini ialah talak dengan mengunakan kata-kata sindiran 9kinayah).[22]
Hukum talak ba’in shughra;
1.      Hilangnya ikatan nikah antara suami istri,
2.      Hilangnya hak bergaul bagi suami istri termasuk berkhalwat (berdua-duaan,),
3.      Masing-masing pihat tidak berhak mewarisi dan di warisi,
4.      Dalam masa ‘iddah bekas istri masih berhak di rumah bekas suaminya dengan berpisah tempat tidur dan berhak mendapat nafkah,
5.      Rujuk harus dengan akad dan mahar yang baru.
b). Talak ba’in kubra
Talak ba’in kubra yaitu talak yang menyempurnakan talak tiga, dan akibatnya ialah hilangnuya hak rujuk kepada bekas istrinya walaupun kedua belah pihak engine melakukanya, baik di waktu ‘iddah maupun setelahnya.
Hukum talak ba’in kubra;
1.      Sama dengan hukum talak ba’in shughra yaitu poin (a), (b), (c), dan (d),
2.      Haram suami kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali apabila bekas istrinya telah kawin dengan laki-laki lain, kemudian di cerai dengan perceraian yang benar. Perkawinan bekas istri dengan laki-laki kedua harus sudah pernah bersetubuh, hal ini sesuaidengan sabda Rasulullah;
“Belum boleh hingga engkau merasakan madunya (suami kedua) dan ia telah merasakan madu engkau”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah;
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3 bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù yy$uZã_ !$yJÍköŽn=tæ br& !$yèy_#uŽtItƒ bÎ) !$¨Zsß br& $yJŠÉ)ムyŠrßãn «!$# 3 y7ù=Ï?ur ߊrßãn «!$# $pkß]ÍhŠu;ム5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (QS. Al-Qarah: 230)
G.    Klasifikasi talak
            Ditinjau dari segi orang yang berwewenag menjatuhkan talak atau memutuskan perceraian, maka perceraian itu dapat dibagi menjadi;[23]
1.      Yang di jatuhkan oleh suami, dinamakan talak,
2.      Yang di putuskan oleh hakim,
3.      Yang putus dengan tersendirinya, seperti karenanya meninggal dunia.
H.    Macam-macam Talak
1.      Talak sunnah
Talak sunnah yaitu talak yang di jatuhkan seorang suami kepada istri ddalam keadaan ia masih suci dan belum tersentuh. Apabila seorang muslim akan menceraikan lantaran nudharat yang menimpa salah seorang diantara keduanya, dan mudharat itu hanya dapat di selesaikan dengan jalan perceraian, maka hal itu harus di tangguhkan sampai istrinya bersih dari haidnya. Apa bila dia telah suci, maka ceraikanlah ia dengan satu talak, misalnya dengan mengatakan; “sesungguhnya engkau telah ku cerai”[24], hal ini berdasarkan firman Allah;
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (
“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”[25] (QS. At-Talaq: 1).
2.      Talak bid’ah
Talak bid’ah ialah talak yang di jatuhkan suami kepada istrinya yang sedang menghadapi haid atau nifas, atau sedang dalam keadaan suci namun telah di setubuhi, atau langsung di talak tiga dengan satu ucapan. Menurut para ulama, talak bid’ah itu sama seperti dalam kejadiannya, sehingga dengan talak itu putuslah hubungan suami istri.
I.       Syarat Jatuhnya Talak
Suatu talak akan jatuh apa bila telah lengkap syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan suami, istri dan ada juga yang berhubungan dengan shighat talak.[26]


a). Syarat yang berhubungan dengan suami
Para ahli fiqih bahwa suami yang sah menjatuhkan talak ialah suami yang mukalaf, seperti sempurna akalnya, telah baligh dan sebagainya. Diantara tanda suami yang tidak sempurna mukallafnya ialah suami yang:
1.      Karena terpaksa
Orang yang terpaksa dia tidak bisa melaksanakan  kehendaknya dan tidak pula dapat menyatakan pilihannya. Pada hakekatnyakehendak dan pilihan orang yang terpaksa itu adalah kehendak dan pilihan orang atau keadaan yang memaksanya. Karena itu ia tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatanya, dengan perkataan lain orang itu tidak sempurna mukallafnya, dan di hukumkan perbuatan itu bukan perbuatanya.[27] Dasarnya ialah, sebagai mana firman Allah;
`tB txÿŸ2 «!$$Î/ .`ÏB Ï÷èt/ ÿ¾ÏmÏZ»yJƒÎ) žwÎ) ô`tB on̍ò2é& ¼çmç6ù=s%ur BûÈõyJôÜãB Ç`»yJƒM}$$Î/
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), “ (QS. An-Nahl: 106)
Demikian pula dengan sabda Rasulullah; “Diriwayatkan bahwa rasulullah saw, bersabda; diangkat dari umatku (hukuman) karena tersalah, lupa dan apa yang terpaksa mereka melakukanya”. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Haiban, ad Darutqutni, at Tabari, al Hakim, dan dinyatakan shaheh oleh an Nawawi).[28]
Berdasarkan keterangan di atas imam Syafi’I, imam Malik, imam Ahmad berpendapat bahwa talak yang di jatuhkan oleh suami yang terpaksa menjatuhkannya tidak sah, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak yang sah.
2.      Suami Yang Mabuk
      Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa sah jatuhnya talak yang di jatuhkan oleh suami yang mabuk, apa bila ia sengaja menjadikan dirinya menjadi orang mabuk, seperti sengaja minum khamar dan sejenisnya. Apabila ia tidak disengaja maka talak itu tidak sah. Para ahli fiqih seperti imam Abu Hanifah, sebagi pengikut Syafi’i dan Ahli Zahir berpendapat bahwa tidak sah talak yang di jatuhkan oleh orang yang sedang mabuk, karena orang yang sedang mabuk di hukumkan tidak berakal atau orang gila.[29]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,” (QS. An-Nisa’: 43).
3.      Suami Yang Sedang Marah
      Yang dimaksud dengam marah ialah semacam perasaan benci karena sesuatu kejadian atau karena tindakan seseorang. Apabila seseorang menjatuhkan talak talak kepada istrinya dalam keadaan marah yang tidak dapat menentukan khendak dan pilihanya, maka talaknya tidak sah, berdasarkan sabda Rasulullah; “Tidak sah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah yang tidak dapat menentukan kehendak pilihanya”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan al Hakim).[30]
4. Main-main atau Senda Gurau
Jumhur ulama menyatakan bahwa talak orang yang main-main atau senda gurau. Dasar ini sesuai dengan sabda Rasulullah; “Tiga perkara kesungguhanya menjadi sungguh-sungguh, dan main-mainnya menjadi sungguh-sungguh: nikah, talak, dan rujuk”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan Turmudzi).[31]
Menurut sebabagian ulama, talak tidaj jatuh yang di lakukan dengan main-main. Menurut mazhab Ahmad dan Malik, karena menurut dua mazhab ini talak baru jatuh apabila di ucapkan dengan sengaja serta mengerti maksudnya.
b). Syarat yang Berhubungan dengan Istri
Para ahli fiqih sepakat bahwa istri yang boleh di talak oleh suami ialah;
  1. Istri yang telah terikat oleh perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila belum terikat oleh perkawinan maka tidak ada talak untuknya,
  2. istri dalam keadaan suci, dan belum di campuri oleh suaminya,
  3. Istri yang sedang hamil.
c). Syarat-syarat pada Shighat Talak
Shighat talak ialah perkataan yang di ucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak kepada istrinya. Shighat talak itu ada yang di ucapkan secara langsung, ada dengan perkataan yang jelas (sharih) dan dengan sindiran (kinayah).
Menurut imam Syafi’i lafaz sharih (jelas) itu ada tiga macam, yaitu Thalaq, Firaq, dan sarah, ketiga kata itu hampir sama maknanya, yaitu, “perceraian” atau “perpisahan”.
Adapun lafaz kinayah (sindiran), ialah kalimat yang di ucapkan tidak terang maksudnya, mengandung arti atau tafsiran yang banyak. Misalnya ucapan “engkau tidak bersuami lagi’.
Ditinjau dari segi, apakah talak itu telah jatuh di saat suami selesai mengucapkan shighat talak, maka talak itu di bagi menjadi dua, yaitu;[32]
a. Talak mubjiz, yaitu talak yang telah jatuh di saat suami selesai mengucapkan shighat talak, seperti perkataan suami kepada istrinya, “Aku jatuhkan talakku satu kali kepadamu”. Talak tersebut jatuh di saat suami selesai mengucapkan talak shighat.
b. Talak mu’allaq, yaitu talak yang jatuh apa bila telah ada syarat-syarat yang di sebutkan suami dalam shighat akad yang telah diucapkannya dahulu atau syarat-syarat yang di tetapkan setelah akad nikah. Syarat-syarat tersebut ada yang berhubungan dengan tindakan atau peristiwa dan ada yang berhubungan  datangnya masa yang akan datang, seperti suami berkata “Talakku jatuh atasmu pada bulan muharram yang akan datang.”[33]
B. Harta Bersama
Dalam pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama.
Mengenai harta bersama, suami maupun isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bersamaan, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.
Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. Adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat-syarat “persetujuan” kedua belah pihak dalam mempergunakan harta bersama tersebut harus diartikan sedemikian rupa. Di mana tidak semua hal penggunaan harta bersama itu diperlukan persetujuan secara tegas dari kedua belah pihak. Dalam beberapa hal tersebut, persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada persetujuan diam-diam. Misalnya dalam hal mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari.
Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Jadi hukum perkawinan dan KUH Perdata mengenai asas persatuan/ pencampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh penyimpangannya. Harta kekayaan bersama terdiri:[34]
1.                  Aktiva, yang meliputi modal, laba/keuntungan serta bunga dari barang yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya juga termasuk yang mereka peroleh sebagai hadiah dari pihak ketiga, kecuali bila mana ada larangan hadiah/hibah itu dimasukkan dalam persatuan harta kekayaan.
2.                  Pasiva, yang meliputi hutang-hutang suami isteri yang dibuat sebelum maupun sesudah perkawinannya. Harta kekayaan di dalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun juga selama perkawinan. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga atau para kreditur.
Pengertian dan Dasar Hukum Penceraian dan Harta Bersama
Cara menghindari perceraian, dasar hukum perceraian, pembagian harta bersama, harta gono gini, islam tentang harta gono gini, masalah perceraian, tingkat perceraian di indonesia,






DAFTAR PUSTAKA
Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam,(Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994).
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974).
Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, terj: Rahmat Jatnika  dan Ahmad Sumpena, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991).
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, (Jakarta, Lentera, 2007).
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Gema Insani, 1994).
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT. Bina ilmu, 1995).



[1]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1994), hal. 2.
[2]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 6.
[3]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), hal. 158.
[4]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 5.
[5]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 161-162.
[6]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 6.
[7]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 7.
[8]Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, terj: Rahmat Jatnika  dan Ahmad Sumpena, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1991), hal. 200.
[9]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, (Jakarta, Lentera, 2007), 451.
[10]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 55.
[11]Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Gema Insani, 1994), hal. 112.
[12]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 59.
[13]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, hal. 541.
[14]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, hal. 338.
[15]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT. Bina ilmu, 1995), hal. 333.
[16]yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
[17]Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, hal. 331.
[18]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, cet. 20, hal. 452.
[19]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal.203.
[20]Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, hal. 453.
[21]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 62.
[22]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 178.
[23]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 159.
[24]Abubakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim, 202.
[25]Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu Suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4.
[26]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 163
[27]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 163-164.
[28]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 164.
[29]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 164-165.
[30]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 165.
[31]Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, hal. 12-13.
[32]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 169.
[33]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 169.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar