Home » » Multikultural

Multikultural

Written By Unknown on Jumat, 22 Maret 2013 | 20.54



HUBUNGAN ANTAR AGAMA A
MULTIKULTURAL
Dosen Pembimbing: Maimanah, M.Ag


Disusun Oleh:
Iskandar Sibawai
Muhammad Anwar
Muhammad Fadliannur
Muhammad Maskur
Sirajuddin



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
BANJARMASIN
TAHUN 2012




BAB I
PENDAHULUAN
Multikultural lahir sejak 30 tahun silam, yaitu sesudah Perang Dunia II dengan lahirnya banyak negara dan perkembangannya prinsip-psinsip demokrasi. Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia dalam praktik kenegaraan belum dijalani sebagaimana mestinya. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang memiliki makna keragamaan dalam kesatua ternyata yang ditekankan hanyalah kesatuannya dan mengabaikan keragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Pada masa Orde Baru menunjukan relasi masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Bhinheka yang selama Orde Baru telah ditindas dengan berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa. Demikian pula praksis pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru telah mengabaikan kekayaan kebhinhekaan kebudayaan Indonesia yang sebenarnya merupakan kekuatan dalam suatu kehidupan demokrasi.[1]
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.[2]

BAB II
PEMBAHASAN
MULTIKULTURALISME

A.    Sejarah Multikulturalisme

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.[3]
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?
Jenis Multikulturalisme Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1.        Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2.        Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3.        Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4.        Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5.        Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. [9]
B.     Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah pembicaraan yang relatif baru di Indonesia, meskipun bangsa indonesia sudah lama hidup dalam keberagaman.[4] Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat di terjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan adanya penerimaan terhadap realitas keragaman, kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan kita. Kenyataan bahawa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam, keragaman itu tercermin dengan banyaknya kepulauan yang ada di negara kita yang di persatukan di bawah kekuasaan negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya.[5]
Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain.
Istilah multikulturalisme sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan, namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik karena memperdebatkan keragaman etnis dan budaya, serta penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan istilah puralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: budaya, keragaman budaya dan cara khusus untuk mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. Secara umum, masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki status budaya dan politik yang sama. Selanjutnya, demi kesetaraan masa kini, pengakuan adanya pluralisme kultural menjadi suatu tuntutan dari konsep keadilan sosial.
Kesadaran akan adanya keberagaman budaya dan kita mengolanya. Disinilah letak pentingnya “Pluralisme” yang dapat di artikan  sebagai suatu pandangan  yang positif terhadap keragaman, di sertai dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengelola keragaman itu secara damai dan berkeadilan.[6]
Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Multikulturalisme mempunyai peran yang besar dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa. Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bhineka tunggal ika” seperti yang tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai.
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.[7]
Adalah Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme.

  1. Multikulturalisme Menurut Al Qur’an
Kita perlu kembali merenungkan berbagai ajaran yang telah disampaikan Allah melalui para Rasul-Nya, yang terdapat dalam kitab Suci Al Qur’an. Kita hendaknya mampu mengoptimalkan peran agama sebagai faktor integrasi dan pemersatu. Al qur’an, misalnya, memuat banyak sekali ayat yang bisa dijadikan asas untuk menghormati dan melakukan rekonsiliasi di antara sesama manusia.[8] Dalam tulisan ini dapat dikemukkan contoh sebagai berikut:
Pertama, Al Qur’an menyatakan bahwa; dulu manusia adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan ) maka Allah mengutus para Nabi, sebagi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
“Tidak berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus,” (QS Al Baqarah: 213)
Dengan ayat ini, AlQur’an menegaskan konsep kemanusiaaan universal Islam yang mengajarkan bahwa umat manusia pada mulamya adalah satu. Perselisihan terjadi disebabkan oleh timbulnya berbagai vested interest masing-masing kelompok manusia. Yang masing-masing mereka mengadakan penafsiran yang berbeda tentang suatu hakekat kebenaran menurut vested interest nya.
Kedua, meskipun asal mereka adalah satu, pola hidupnya menganut hukum tentang kemajemukan, antara lain karena Allah menetapkan jalan dan pedoman hidup yang berbeda-beda untuk berbagai golongan manusia. Perbedaan itu seharusnya tidak menjadi sebab perselisiahan dan permusuhan, melainkan pangkal tolak bagi perlombaan untuk melakukan berbagai kebaikan. Al Qur’an menyebutkan :“….. Untuk tiap-tiap manusia diantara kamu, Kami berikan jalan dan pedoman hidup. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat saja. Tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Sehingga dari kedua ayat diatas dapat saya tarik kesimpulan bahwa; betapapun perbuatan yang terjadi pada manusia di bumi ini, namun hakekat kemanusiaan akan tetap dan tidak akan berubah. Yaitu fitrahnya yang hanif, sebagai wujud perjanjian primordial (azali) antara Tuhan dan Manusia sendiri. Responsi atau timbal balik manusia kepada ajaran tentang kemanusiaan universal adalah kelanjutan dan eksisitensialisme dari perjanjian primordial itu dalam hidup di dunia ini.[9]
Selain itu, kita juga harus membutuhkan sebuah artikulasi atau penjabaran suatu visi dari dalam yang baru tentang manusia. Sekarang menjadi suatu keharusan bahwa semua agama harus mengambil bagian. Sekurang-kurangnya untuk sebagian dari sebuah visi dari dalam, sebuah konsep manusia mengenai dirinya sendiri, sesama, bahkan dengan orang yang menyatakan dirinya tidak beragama. Dalam pencarian itu mungkin sangat penting bagi umat beragama untuk melihat kepada pribadi-pribadi terkemuka yang dimilikinya dan peninggalan kolektifnya di massa lampau.
  1. Multikulturalisme Menurut Para Tokoh
Menurut Petter Wilson, Dia mengartikan multikulturalisme setelah melihat peristiwa di Amerika, “ Di Amerika, multikultural muncul karena kegagalan pemeimpin di dalam mempersatukan orang Negro dengan orang Kulit Putih”. Dari sini dapat diambil sebuah sintesa bahwa konsep multikultural PetterWilson semata-mata merupakan kegagalan dalam mempersatukan kelompok etnis tertentu. Kemudian problem penghambatan proses integrasi budaya ini berujung kepada gagalnya atau salahnya perspektif tentang sebuah kesatuan budaya (Unikultural). Yang seharusnya tidak berarti kemajemukan harus dipaksakan unutk menjadi satu, akan tetapi perbedaan itu haruslah menjadi kekuatan yang kompleks untuk bersatu dan berjalan bersama, tanpa adanya konflik.
Adanya sebuah konsesus Neo Liberal yaitu datang berdasarkan pada kepentingan ekonomi liberalisme. Juga menjadi faktor penghambat sebuah integrasi bangsa.
Menurut Kenan Malik (1998), multikulturalisme merupakan produk dari kegagalan politik di negara Barat pada tahun 1960-an. Kemudian gagalnya perang Dingin tahun 1989, gagalnya dunia Marxisme kemudian gagalnya gerakan LSM di asia tenggara yang menemukan konsep multikultural yang sebenarnnya.
Jalan keluar dari semua itu menurutnya adalah sebuah keadilan yang masih berpegang pada keanekaragaman budaya yang sejati.

E.     Ketika Komitmen Multikultural Kian Rapuh

Keberadaan Indonesia sebagian model toleransi beragama dan multikulturalisme akhir-akhir ini diguncang banyaknya insiden kekerasan atas nama agama. Secara kuantitas, insiden kekerasan tersebut setiap tahun terus meningkat. Begitupula secara kualitas, tindakan kekerasan berbasis agama ini telah sampai pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai pihak telah menyuarakan keprihatinannya menyikapi situasi tersebut, bahkan tidak sedikit dari mereka secara tegas mengutuk kekerasan dan menganggapnya sebagai tindakan yang merongrong nilai-nilai kemanusiaan.[10]
Namun nyatanya kekerasan terus saja terjadi dan korban terus berjatuhan. Tidak ada efek perubahan akibat kutukan-kutukan tersebut. Sebaliknya, para pelaku kekerasan semakin immune, kebal, mereka malah berusaha menularkan virus kekerasan ke sekelilingnya melalui syiar-syiar kebencian terhadap kelompok lain. Peristiwa kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik Banten misalnya, secara langsung maupun tidak telah mendorong imitasi kekerasan oleh kelompok anarkhis sejenis di tempat lain. Tampaknya, bangunan berbangsa kita sedang dalam ujian yang maha berat dimana komitmen terhadap multikulturalisme semakin rapuh.
Inilah sedikit cacatan dari diskusi terfokus bertajuk "Ritus Kekerasan Berbasis Agama: Mengapa Terus Terjadi" di Wahid Institute, Senin (28/02) lalu. Sejumlah tokoh yang hadir melihat saat ini, masyarakat kita makin permisif dengan kekerasan di sekelilingnya, ada banalitas kekerasan yang seolah ditolerir karena memiliki alasan yang cukup masuk akal. Masyarakat diam dan bahkan menyetujui tindak kekerasan karena dibungkus simbol-simbol agama. Di sisi lain, para tokoh agama juga diam bahkan tidak sedikit dari mereka yang melakukan justifikasi dan reviktimisasi terhadap korban, seolah merekalah yang memprovokasi kekerasan. Sikap tokoh agama ini menambah amunisi kelompok kekerasan melanjutkan aksi-aksi mereka.
Fakta ini menunjukkan kepada kita bahwa ada benang merah antara intensitas tindak kekerasan atas nama agama dengan eksploitasi massif simbol-simbol dan identitas keagamaan diruang publik. Munculnya kelompok-kelompok sipil dengan simbol agama (baca: Islam) yang kental selalu membawa aspirasi-aspirasi internal agama Islam menyikapi problem sosial dan politik di sekitarnya. Mereka misalnya menyikapi persoalan minuman keras, perjudian, prostitusi, hingga kelompok yang dinilai aliran sesat dengan merujuk doktrin-doktrin internal Islam, mulai dari perspektif moral hingga legal (fikih). Mereka juga berusaha mengimplementasikan doktrin-doktrin tersebut tidak hanya pada ranah privat tetapi juga dalam ranah publik yang pada gilirannya sering berbenturan dengan logika hokum negara. Bahkan tidak jarang dilakukan melalui paksaan kekerasan.[11]
Mereka misalnya merazia tempat-tempat hiburan yang dinilai melanggar moral Islam, melakukan penggerebegan terhadap markas kelompok aliran yang  dinilai menodai Islam, hingga turun ke jalan menyuarakan formalisasi syariat Islam. Aksi-aksi seperti ini telah mengancam dan melanggar hak-hak dasar warga negara lain terutama kelompok minoritas. Mereka tidak saja mengalami kerugian materil seperti hancurnya property dan harta benda tetapi juga kerugian moril karena terstigma sebagai kelompok sesat dan tidak bermoral.
Salah satu pilar bangsa kita adalah bhinneka tunggal ika. Pilar ini telah terbukti mampu merekat kesatuan dan meneguhkan rasa saling menghormati dan saling menerima setiap warga negara meskipun dari beragam suku, agama, bahasa bahkan ideologi politik. Pilar ini juga mampu membentengi identitas multikultur bangsa Indonesia dari upaya penunggalan sebagaimana dilakukan orde baru.Pasca reformasi, upaya semacam itu justru muncul dalam bentuk lain yakni melalui simbol dan identias keagamaan di ruang publik.
Ketika multikulturalisme diterima sebagai pilihan dalam mengelola keragaman bangsa, sekelompok kecil orang justru menilainya sebagai masalah. Karena itu mereka berusaha mereduksi dan menggugat pilihan tersebut dengan berbagai cara. Dalam pandangan Amatya Sen, seorang ekonom dan filosof asal India, kelompok ini mengandaikan identitas yang mereka perjuangkan bersifat kodrat dan tunggal bahkan sering bersifat agresif. Identias ini menurut Sen tidak hanya tidak bisa mereka lepaskan, tetapi juga membebani mereka dengan tuntutan yang berat, termasuk dalam hal ini bertindak kejam dan sadis.
Dalam pemahaman kelompok ini, manusia sesungguhnya tidak bisa dengan bebas memilih identitasnya, karena ada kekuatan dari luar yang sudah menentukan. Jika identitas yang dimaksud adalah agama atau keyakinan tertentu, maka identitas para pemeluk agama yang sama sudah ditentukan oleh pembuat agama tersebut. Karena itu, tidak heran apabila kelompok anti-Ahmadiyah misalnya memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam dengan argument identitas warga Ahmadiyah berbeda dengan identitas umat Islam pada umumnya. Apabila mereka tidak mau, maka harus dipaksa dengan kekerasan.[12]
Konsepsi tentang identitas tunggal ini mengesampingkan kenyataan bahwa setiap orang memiliki identias yang sangat beragam pada dirinya. Dimana setiap orang pasti memiliki persinggungan identitas dengan orang lain, apakah itu sebagai pemeluk suatu agama, sesame warga negara, sesame anggota suku bangsa atau bahkan sebagai sesame umat manusia. Bagaimana mungkin kita mengandaikan seseorang harus memiliki identitas yang sama dengan kita, sementara orang tersebut merasa memiliki identitas yang berbeda.
Persoalan ideintitas dalah persoalan pilihan. Kita tidak bisa memaksa seseorang memeluk atau melepaskan identitasnya sebagai pemeluk aliran tertentu dalam agama, karena hal itu sama saja melawan kebebasan seseorang untuk memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya. Dalam kaitan ini, kita tidak bisa memaksa warga Ahmadiyah keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, karena mereka memilih tetap menjadi orang Islam sekaligus warga Ahmadiyah. Begitupula dengan kelaompk keyakinan lain di masyarakat seperti Lia Eden, Sapto Dharmo dan lainnya untuk meninggalkan keyakinan mereka dengan alasan yang sama. Selama keyakinan tersebut tidak melawan hokum dan dijalankan secara bertanggungjawab, konstitusi negara menjamin hak-hak mereka.
F.     Menghentikan Kekerasan
Seperti penulis sampaikan dimuka, ritus kekerasan berbasis agama kahir-akhir ini muncul karena rasa identitas yang melekat pada sekelompok kecil umat beragama. Rasa identitas tersebut seolah membebani mereka dengan tuntutan bertindak agresif, yang mana hal itu melawan konsensus berbangsa kita. Dan rasa inilah yang selalu menghambat upaya-upaya mengehntikan kekerasan karena yang dihadapi adalah kerancuan konsepsi.
Menghentikan kekerasan bisa dilakukan dengan mendobrak kerancuan berpikir bahwa setiap orang tidak bebas memilih ideintitasnya. Kita perlu pemahaman yang jernih bahwa hal utama dari setiap orang adalah tanggungjawab, kemandirian dan penalaran yang benar terhadap pilihannya. Kita juga harus mengakui bahwa setiap orang pasti memiliki persinggungan identitas dengan orang lain. Jika mereka berbeda identitas agama dan keyakinan, pasti mereka memiliki identitas yang sama apakah sebagai keluarga, sebagai sesame anggota suku bangsa, atau sebagai sesame umat beragama. Yang pasti kita adalah sesame warga negara Indonesia yang secara sadar menerima kebhinekaan sebagai identitas kita. Jika kita jujur dengan kenyataan ini, maka komitmen kita terhadap multikulturalisme tentu akan semakin kokoh. 
  1. Perjalanan Menyambut Multikulturalisme di Indonesia
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.[13]
Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata hanya berlaku pada kelompok tertentu. Wacana demokrasi itu ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah “masyarakat multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society) sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
  1. Upaya Bersama di Dalam Menyikapi Sebuah Multikulturalisme
Dengan menjalankan asas gerakkan multikulturalisme menjadi sebuah ideologi yang dianggap mampu menyelesaikan berbagai masalah yang berkaitan dengan Multikulturalisme. Yaitu dengan asas-asas sebagai berikut:[14]
a.         Manusia tumbuh dan besar pada hubungan sosial di dalam sebuah tatanan tertentu, dimana sistem nilai dan makan di terapkan dalam berbagai simbol-simbol budaya dan ungkapan-ungkapan bangsa.
b.        Keanekaragaman Budaya menunjukkan adanya visi dan sisitem makan tang berbeda, sehingga budaya satu memrlukan budaya lain. Dengan mempelajari kebudayaanlain, maka akan memperluas cakrawala pemahaman akan makna multikulturalisme
c.         setiap kebudayaan secara Internal adalah majemuk, sehingga dialog berkelanjutan sangat diperlukan demi terciptanya persatuan
d.        Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu.   Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a.       Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b.      Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c.       Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari. 















BAB III
KESIMPULAN

Multikulturalisme adalah pembicaraan yang relatif baru di Indonesia, meskipun bangsa indonesia sudah lama hidup dalam keberagaman. Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat di terjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan adanya penerimaan terhadap realitas keragaman, kemajemukan yang terdapat dalam kehidupan kita. Kenyataan bahawa Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam, keragaman itu tercermin dengan banyaknya kepulauan yang ada di negara kita yang di persatukan di bawah kekuasaan negara, melainkan juga keragaman warna kulit, bahasa, etnis, agama dan budaya.
Gagasan multikultural bukanlah suatu konsep yang abstrak tetapi pengembangan suatu pola tingkah laku yang hanya dapat diwujudkan melalui pendidikan. Selain itu, multikultural tidak berhenti pada pengakuan akan identitas yang suatu kelompok masyarakat atau suatu suku tetapi juga ditunjukan kepada terwujudnya integrasi nasional melalui budaya yang beragam.
Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme kemudian ditekankan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Ada juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas. Multikultur justru disalahartikan yang mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli.






DAFTAR PUSTAKA

Khalil, Ahmad, Agama Kultural Masyarakat Pinggiran,(Malang, Uin Maliki Press, 2011).
Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme/01/04/2012.
http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=224/hl=id/Ketika_Komitmen_Multikultural_Kian_Rapuh/01/04/2012.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/20/sejarah-pendidikan-multikultural-di-indonesia//19/03/2012.
http://poetraboemi.wordpress.com/2008/03/21/multikulturalisme-dan-masa-depan-indonesia/01/04/2012.
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2242330-multikulturalisme-menurut-al-quran/01/04/2012.



[1]http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/20/sejarah-pendidikan-multikultural-di-indonesia//19/03/2012.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme/01/04/2012.
[4]Khalil, Ahmad, Agama Kultural Masyarakat Pinggiran,(Malang, Uin Maliki Press, 2011), hal.1.
[5]Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hal. 44.
[6]Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam, hal. 44.
[7]http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme/01/04/2012.
[8]http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2242330-multikulturalisme-menurut-al-quran/01/04/2012.
[9]http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2242330-multikulturalisme-menurut-al-quran/01/04/2012.
[10]http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=224/hl=id/Ketika_Komitmen_Multikultural_Kian_Rapuh/01/04/2012.
[11]http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=224/hl=id/Ketika_Komitmen_Multikultural_Kian_Rapuh/01/04/2012.
[12]http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=224/hl=id/Ketika_Komitmen_Multikultural_Kian_Rapuh/01/04/2012.
[13]http://poetraboemi.wordpress.com/2008/03/21/multikulturalisme-dan-masa-depan-indonesia/01/04/2012.
[14]http://poetraboemi.wordpress.com/2008/03/21/multikulturalisme-dan-masa-depan-indonesia/01/04/2012.
Share this article :

1 komentar: