MAKALAH
WASIAT
DAN PERMASALAHANYA
Mata
Kuliah: HUHUK KELUARGA ISLAM
Dosen
Pengasuh: DR. Ahmad Saghir
Disusun
Oleh:
MUHAMMAD
MASKUR
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ANTASARI
FAKULTAS USHULUDDIN
BANJARMASIN
TAHUN 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam
makalah yang kami susun ini akan membahas menenai wasiat. Beberapa ayat yang akan
kami ambil dari Al'Quran, ayat tersebut sebagai landasan gtentang kewajipan
wasiat sebelum tibanya ajal, serta hadis
dan beberapa pendapat para ulama berkenaan dalil dan penentuan
hukum yang seperlunya
diberikan berdasarkan ayat
dengan mengambil kira beberapa faktor.
Pada
kesempatan kali ini makalah yang kami susun membahas mengenai wasiat dan
permasalahanya, yang mudah-mudahan ada manfaatnya, dan juga kami menyisipkan
mengenai hukum wasiat kepada orang kafir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wasiat
Kata “wasiat” artinya pesan yang di
sampaikan oleh seseorang, artinya lafdhiyahnya
adalah menyampaikan sesuatu.[1]
Dalam istilah syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain
baik berupa barang, piutang maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang
diberi wasiat itu, sesudah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Sebagian
ahli hukum islam mendefinisikan wasiat
itu adalah pemberian hak milik secara suka rela yang dilaksanakan setelah si
pemberinya wafat.[2]
Wasiat itu adalah pemberian hak milik secara
sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati.[3]
Dari sini jelaslah perbedaan antara hibah dan wasiat. Pemilikan yang diperoleh
dari hibah itu terjadi pada saat itu juga; sedangkan pemilkan yang diperoleh
dari wasiat itu terjadi setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia. Ini
dari satu segi; sedangkan dari segi lain, hibah itu berupa barang; sementara
wasiat bisa berupa barang, piutang ataupun manfaat.
B.
Dasar Hukum Wasiat
Wasiat dilaksanakan dengan landasan
hukum sebagai berikut:[4]
1.
Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 180:
|=ÏGä.
öNä3øn=tæ
#sÎ) u|Øym
ãNä.ytnr&
ßNöqyJø9$#
bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$#
Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/
(
$)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya
: “Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”(Q.S. Al-Baqarah: 180)
2.
An-
Nisa’ayat
11:
... .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy
...
Artinya:
“... (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya...
(Q.S.
An-Nisa’: 11)
3. Al- Maidah ayat 106:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky öNä3ÏZ÷t/ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$#
#urs 5Aôtã
öNä3ZÏiB
Artinya : “wahai
orang-orang yang beriman ! Apabila salah seorang ( di antara) kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu... (Q.S. Al- Maidah: 106).
Hadis Rasulullah saw;
yang artinya: “Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar r.a. dia
berkata, “Rasulullah sawbersabda,hak bagi
orang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak di wariskan, sesudah bermalam
selama dua malam, tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikanya.”
Ibnu Umar berkata, “tidak berlalu bagi
ku satu malam pun sejak aku mendengar Rasulullah saw mengucapkan hadis itu,
kecuali wasiatku selalu berada di sisiku.”
[5]
Pengertiah hadis
tersebut ialah wasiat itu dalam bentuk tertulis selalu berada di sisi orang
yang berwasiat, sebab kemungkinan orang yang berwasiat itu meninggal dunia
secara mendadak. Karena itu imam Syafi’i mengatakan, tidak ada kehati-hatian
dan keteguhan bagi seorang muslim, melainkan bila wasiatnya itu tertulis dan
berada di sisinya jika dia mempunyai sesuatu yang hendak di wasiatkan, sebab
dia tidak tahu kapan ajalnya akan datang. Sebabnya jika dia meninggal dunia,
sedang wasiatnya tidak tertulis dan tidak berada di sisinya kemungkinan besar
wasiatnya itu tidak akan bisa terlaksana.
C.
Kedudukan Hukum Wasiat
Mengenai kedudukan hukum wasiat,
ada yang berpendapat bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan
harta, baik harta itu banyak ataupun sedikit. Pendapat ini di katakan oleh
Az-Zuhri dan Abu Mijlaz. Pendapat ini berpatokan pada Al-Quran surah Al-Baqarah
ayat 180 yang mewajibkan wasiat ketika seseorang menghadapi kematian.[6]
Pendapat kedua menyatakan bahwa
wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si
mayat itu wajib hukumnya.
Pendapat ketiga adalah pendapat
empat imam mazhab dan aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah
kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta (pendapat pertama), dan
bukan pula kewajiban terhadap kedua
orang tua dan karib kerabat yang tidak
mendapat harta warisan (pendapat kedua): tetapi wasiat itu hukumnya
berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat,
terkadang haram, terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
1.
Wasiat
itu wajib dalam keadaan manusia mempunyai kewajiban syara’ yang dikhawatirkan
akan di sia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya titipan utang
kepada Allah dan utang kepada sesama manusia. Misalnya dia mempunyai kewajiban
zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum dilaksanakan, atau dia
mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia mempunyai utang yang tidak
diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang di persaksikan.
2.
Wasiat
itu di sunatkan jika diperuntukan kepada kebajikan, karib kerabat, orang-orang
fakir, dan orang-orang saleh.
3.
Wasiat
itu diharamkan jika merugikan ahli waris. Misalnya, wasiat yang melebihi 1/3
harta warisan, apalagi menghabiskan harta waris. Diharamkan pula mewasiatkan
khamar, membangun gereja, atau tempat hiburan.
4.
Wasiat
itu makruh, bila orang yang berwasiat sedikit hartanya, sedang dia mempunyai
seorang atau banyak ahli waris yang membutuhkan hartanya. Demikian pula,
dimakruhkan wasiat kepada orang-orang yang fasik jika diketahui atau di duga
dengan keras. Bahwa mereka akan menggunakan harta itu di dalam kefasikan dan
kerusakan. Akan tetapi apabila orang yang berwasiat tahu atau menduga keras
bahwa orang yang diberi wasiat akan menggunakan harta itu untuk ketaatan,
wasiat demikian menjadi sunat.
5.
Wasiat
itu di perbolehkan jika ditujukan untuk orang-orang yang kaya, baik orang yang
di wasiati itu kerabat maupun orang yang jauh (bukan kerabat).
D.
Rukun dan
Syarat-syarat Wasiat
Rukun wasiat adalah sebagai
berikut:[7]
1.
Ada
pewasiat;
2.
Ada
yang diberi wasiat atau penerima wasiat;
3.
Ada
sesuatu yang di wasiatkan, berupa harta atau manfaat sesuatu;
4.
Ada
akad atau ijab kabul wasiat secara lisan atau tulisan.
Syarat-syarat wasiat adalah sebagai
berikut:[8]
- Orang yang memberi wasiat telah baliq, berakal, benar-benar hak atas harta benda yang akan di wasiatkan. Disamping itu pewasiat tidak dalam keadaan pengaruh atau tekanan,
- Orang yang menerima wasiat masih hidup,
- Jika yang diwasiatkan harta, jumlahnya tidak melebihi 1/3 harta waris;
- Wasiat dilaksanakan jika yang memberikannya meninggal dunia.
- Pernyataan yang jelas.
Wasiat itu tidak menjadi hak dari
orang yang diberinya, kecuali setelah pemberinya meninggal dunia dan
utang-utangnya dibereskan. Apabila utang-utangnya menghabisi semua peninggalan,
orang yang diberi wasiat itu tidak mendapatkan sesuatu.[9]
Wasiat yang disandarkan atau diikat
atau disertai syarat itu sah, apabila syaratnya itu syarat yang benar. Syarat
yang benar ialah syarat yang mengandung maslahat bagi orang yang memberinya,
orang yang diberinya, atau bagi orang lain, dan syarat itu tidak dilarang atau
bertentangan dengan maksud-maksud syariat.
Apabila syaratnya itu benar,
syaratnya itu wajib dipelihara selama maslahatnya masih ada. Apabila maslahat
yang dimaksud telah hilang, atau tidak benar, syarat itu tidak wajib di
pelihara.
Disyaratkan agar orang yang memberi
wasiat adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi
(kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini didasarkan pada akal,
kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar , dan tidak dibatasi karena kedunguan atau
kelalaian. Apabila orang yang memberi wasiat itu orang yang kurang
kompetensinya, yaitu karena dia masih anak-anak, gila, hamba sahaya, dipaksa,
atau dibatasi; wasiatnya itu tidak sah.
Aliran Hanafiyah berpendapat, bahwa
wasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris yang mendapat warisan, walaupun hanya
sedikit, kecuali ada izin dari pihak ahli waris lainya.[10]
Wasiat itu hanya dilaksanakan terhadap 1/3 dari hartanya saja.
Disyaratkan orang yang diberi
wasiat adalah bukanlah ahli waris dari orang yang memberi wasiat. Disyaratkan
agar orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang memberinya, dengan
pembunuhan yang diharamkan secara langsung.
Menurut Abu Yusuf , apabila orang
yang diberi wasiat membunuh orang yang memberinya dengan pembunuhan yang
diharamkan secara langsung, wasiat itu batal. Sebab, orang yang menyegerakan
sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu itu. Abu
Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa wasiat itu tidak batal, dan ini
diserahkan kepada persetujuan ahli waris.[11]
Disyaratkan agar yang diwasiatkan
itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat
meninggal dunia. Dengan demikian, sahlah wasiat mengenai semua harta yang
bernilai, baik berupa barang maupun manfaat. Sah pula wasiat tentang buah dari
tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina sebab yang demikian dapat
dimiliki melalui warisan. Selama yang diwsiatkan itu ada wujudnya pada waktu
orang yang mewasiatkan meninggal dunia, orang yang diberi wasiat berhak
atasnya. Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada. Sah
pula mewasiatkan piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan.
Tidak sah mewasiatkan bukan harta,
sperti bangkai, dan yang tidak bernilai, bagi orang yang mengadakan askad
wasiat, seperti khamar bagi kaum muslim.
Orang yang berwaiat biasanya ada
yang memiliki ahli waris dan tidak. Bila dia mempunyai ahli waris maka dia
tidak boleh mewaistkan lebih dari 1/3 hartanya. Apabila dia mewasiatkan
hartanya lebih sepertiga, maka wasiat iti tidak di laksanakan, kecuali atas
izin dari ahli waris, dan untuk melaksanakanya di perlukan dua syarat sebagai
berikut; [12]
1.
Agar
permintaan izin itu dilakukan setelah yang berwasiat meninggal dunia, orang
yang memberi izin itu belum mempunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi
pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin, pada waktu orang orang yang
berwaiat masih hidup, orang yang berwasiat mungkin mencabut kembali wasiatnya
bila dia menginginkanya.
2.
Agar
orang yang memberi izin itu mempunyai kopetensi yang sah, tidak di batasi karena
kedunguan atau kelalaian, pada waktu memberikan izin. Apabila orang yang
berwasiat tidak mempunyai ahli waris, diapun tidak boleh mewasiatkan lebih dari
1/3.
Wasiat itu batal dengan hilangnya
salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah di sebutkan, misal sebagai
berikut;
1.
Apabila
seseorang yang berwasiat itu menderita penyakit dila yang parah yang menyampaikannya
pada kematian;
2.
Apabila
orang yang di beri wasiat meninggal dunia sebelum orang yang memberinya,
3.
Apabila
orang yang di wasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum di terima oleh
orang yang diberi wasiat.
E.
Hukum Wasiat Seorang Muslim Kepada
Orang Kafir dan Orang Kafir Kepada Seorang Muslim
Para fuqoha kaum muslimin dari
kalangan Hanafiah dan Hanabilah serta kebanyakan Syafi'iyah telah sepakat
tentang sahnya wasiat dari seorang muslim kepada kafir dzimmy atau dari kafir
dzimmy kepada seorang muslim dengan syarat wasiat syar'iyyah. Mereka berhujjah
dengan firman Allah:
w â/ä38yg÷Yt ª!$# Ç`tã tûïÏ%©!$# öNs9 öNä.qè=ÏG»s)ã Îû ÈûïÏd9$# óOs9ur /ä.qã_Ìøä `ÏiB öNä.Ì»tÏ br& óOèdry9s? (#þqäÜÅ¡ø)è?ur öNÍkös9Î) 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÑÈ
"Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang
tidak memerangi kamu dalam urusan ad dien (agama) dan tidak mengusir kamu dari
negeri-negeri kamu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat
adil." (Q.S. Al Mumtahanah : 8).
Karena
kekufuran tidak menghapuskan hak memiliki sebagaimana boleh pula seorang kafir
berjual beli dan hibah, demikian pula wasiatnya. Sebagian ulama Syafi'iyah
berpendapat bahwa hanya sah kepada sorang dzimmy bila ditentukan orangnya
seperti kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk si Fulan." Tapi
kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk Yahudi atau Nashara",
maka tidaklah sah karena dia telah menjadikan kekafiran sebagai pembawa wasiat.
Adapun
Malikiyah maka mereka menyetujui orang-orang yang menyatakan sahnya wasiat
seorang dzimmy kepada orang muslim. Adapun wasiat seorang muslim kepada seorang
dzimmy maka Ibnul Qosim dan Asyhab berpendapat boleh apabila dalam rangka
silaturahim karena termasuk kerabat kalau bukan maka hukumnya makruh karena
tidak akan berwasiat kepada orang kafir dengan membiarkan orang muslim kecuali seorang muslim yang sakit
imannya. (Al-Maushu'ah Al-Fiqhiyah 2/312). Islam Tanya & Jawab, Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas kami dapat
menyimpulkan bahwa, wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang
meninggalkan harta, dan bukan pula
kewajiban terhadap kedua orang tua
dan karib kerabat yang tidak mendapat harta warisan (pendapat kedua):
tetapi wasiat itu hukumnya berbeda-beda menurut keadaan. Wasiat itu terkadang wajib, terkadang sunat, terkadang haram,
terkadang makruh, dan terkadang mubah (boleh).
Wasiat itu di serahkan setelah
pemberi wasiat meninggal dunia, wasiat tersebut bisa berupa pemberian seseorang
kepada orang lain baik berupa barang, piutang maupun manfaat untuk dimiliki
oleh orang yang diberi wasiat itu secara sepihak dan tanpa ada paksaan dari
pihak manapun serta secara sukarela.
Bagian atau besarnya wasiat yang di
terima oleh penerima wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta nya.
Berwasiat kepada ahli waris menurut kami boleh yakni dengan ada izin dari pihak
ahli waris lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad , KELUARGA SAKINAH, Surabaya, PT Bina
Ilmu, 1995.
M. Ali Hasan, Hukum Waris dalam Islam, cet. 6,
Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1996.
Pasribu, Chairuman dan
Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 1994.
Saebani, Beni Ahmad dan
Falah, Syamsul, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Bandung, CV Pustaka Setia, 2011.
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta, PT
Rineka Cipta, 1994.
Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Islam, Surabaya, PT, Bina Ilmu,
1995.
[1]Saebani, Beni Ahmad dan
Falah, Syamsul, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2011), hal. 249.
[2]Abd. Shomad , Keluarga Sakinah, (surabaya, PT bina ilmu, 1995), hal 306.
[3]Pasribu, Chairuman dan
Surahwardi K. Lubis, Hukum Perjanjian
dalam Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 1994), hal. 122.
[4]Op.
Cit, hal.
249.
[5]..., Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT, Bina Ilmu, 1995). hal.307-308.
[6]
Loc. Cit, hal. 251.
[7]Loc.
Cit. hal. 252.
[8]Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta, PT
Rineka Cipta, 1994). hal. 345.
[9]Ibid.
Hal. 253.
[10]M. Ali Hasan, Hukum Waris
dalam Islam, cet. 6, (Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1996). hal. 25.
[11]Ibid.
hal.
253.
[12]Loc.
Cit.
hal. 254.
0 komentar:
Posting Komentar